BILA HATI MULAI BERNYANYI




Ruang pameran itu tidak begitu penuh dikunjungi orang hingga tempat yang kecil itu tak hendak meledak. Berulang kali Pri  melayangkan pandanganya ke sudut sana. Pokoknya, gadis itu punya pesona tersendiri, punya daya tarik tersendiri, punya magnet yang bisa mengajak mata untuk selalu menatapnya. Sebenarnya sih. Sedehana saja penampilannya. Tetapi ia tampak istimewa dengan pakaian seragam seperti itu.
Kadang-kadang pandang mata Pri terhalang beberapa pengunjung, kadang juga asap rokok mengaburkan pandangannya gadis itu juga sering beringsut hingga mata Pri
tak bisa menelannya bulat bulat.
Siang ini, Pri  mendapat giliran menjaga majalah dinding di sekolahnya, beberapa temannya yang ada di situ. Mungkin, dia malah pemimpin redaksinya, pikir Pri dalam hati. Ya ini memang pameran majalah dinding yang pertama kali diadakan di kota ini. Pesertanya berasal dari sekolah menengah atas atau yang sederajat termasuk majalah dinding Bayu, dari sekolah Pri
“kau lapar nggak ? “ Tanya Kris setengah berbisik,
“mau nraktir ?” Pri balik bertanya
Kris tertawa. Begitulah memang Krisa sering ia hadir dengan guyon guyonannya. Dan Kris meskipun berwajah agak kasar, tidak termasuk laki laki pemalu. Lalu Pri mengalihkan perhatiannya.
“Kris  kau lihat cewek itu ?” kata Pri sambil melempar matanya kearah gadis itu sendiri. Pri memasang senyuman. Tampaknya pandangan Kris masih terhalang beberapa orang, hingga ia hanya melihat punggung punggung, rambut rambut.
“mana yang jaga majalah dinding itu ?”
Sebelum Pri menunjukkan mana yang di maksud, tiba-tiba agus muncul. Lalu, majalah dinding mereka mendapat giliran dilihat lihat pengunjung. Pembicaraan jadi terhenti sejenak kemudian mereka akhirnya telah terlibat pada proses penilaian atas gadis yang di sana, yang mengenakan segagam sekolahnya : baju putih desi merah tua , dan rok bawah sesuai dengan warna desinya. Rambutnya cukupan modelnya rafika duri dan  siapa namanya ? inilah persoalan berikutnya.
Pri ingin memanfaatkan kris, ia biasanya tidak malu mengerjakan sesuatu, apalagi menyangkut tentang gadis itu, lalu Pri meminta agar Kris menyodorkan buku kesan kesan.
“suruh dia menulis kesan tentang majalah dinding kita, praktis kita tahu siapa namanya, “ kata Pri.
“itu kalau dia jujur, tidak malu menuliskan namanya. Kalau pake nama samaran ?” ujar kris.
“Ah, itu soal teknis, tergantung kau, kan?”
“Kenapa aku ?”
“Taka apa apa, sudahlah …..”
“Oke.”
“Rokok, deh, mati.”
Kris tersenyun
Dengan langkah berani ia mendekati gadis itu. Pengunjung sudah agak berkurang. Siang pun ikut menyurut. Jam satu pameran di tutup, tapi masih ada waktu cukup untuk mengadakan kesepakatan. Wow, majalah dinding itu bernama anita, pikir Kris. Itu singkatan dari Achmad Yani Utara. Jalan itu memang merupakan alamat sekolahnya, tentu  ini SPG Stella Duce, pikirnya lagi. Wah, calon guru.
“Tolong, kau isikan kesan kesan tentang majalah dinding kami, “ujar Kris seakan tiba tiba. Gadis itu cekikikan dengan temannya. Kris membubui dengan melucu. Lalu, Kris menunjuk dimana majalah dindingnya bertengger.
“Yang mana ?”
“Itu lho, dekat jendela”
“Bayu ?” Tanya gadis itu.
Lalu, matanya melirik ke arah temannya. “Kau saja, Er yang ngisi .” kata gadis itu kemudian pada temannya yang dipanggil Er. Er menepiskan.
“Pokoknya, tulis apa sajalah, “ desak Kris.
“Ditulis  apa ? Kesan ? kesannya apa sih ?
Nggak bisa, “ jawab gadis itu.
“Ah masa? Tulis baik apa jelek, kan bisa.”
Lalu, gadis itu Cuma menuliskan kata “baik” pada kolom kesan kesan. Ia tahu barangkali ini hanya untuk mengetahui namanya.
“Masa Cuma ditulis “baik” begitu saja? “
Gadis itu Cuma tersenyum.
“Namanya siapa ?” Tanya Kris serentak
Gadis itu tidak mau menuliskan namaya. Ia hanya menambahkan di belakang kata “baik” kalimat pendek dengan huruf besar : “hal-hal yang baru perlu juga ditampilkan. Lalu gadis itu perlu menyodorkan buku yang barusan ditulisi. Itu saja cukup, pikir gadis itu. Ia tahu anak-anak yang bergerombol di Majalah Dinding Bayu tentu ingin tahu siapa namanya. Sejak tadi anak –anak itu memang menarik perhatian.
“Majalalh dinding kok lebih banyak puisinya ?” Tanya Kris.
“Edisi Minggu ini memang banyak puisinya . sekolah kami kan gudangnya penyair !.”balas gadis itu agak tidak kalah.
Anita 23. Kris membaca nama majalah dinding itu, lalu di bawah nama itu terdapat alamat redaksi : jalan Achmad Yani Utara 23, SPG Stella Duce. Kris tahu hal itu.
Akhirnya Kris kembali kepada teman-temannya. Gadis itu belum membubuhkan namanya. Yang di inginkan hanya nama majalah dindingnya saja , yakni Anita.
Kris yang duta mereka itu melaporkan pada Pri  dan Agus. Lalu terdengar suara tertawa,
Gadis di seberang sana merasa kalau dirinyalah yang tengah dibicarakan dan menyebabkan mereka tertawa. Gadis itu pura-pura tidak memperhatikan, ia berbicara kepada temannya.
Akhirnya, mereka menggeser topik pembicaraan ke soal lainnya . tetapi sampai pameran itu ditutup ia belum juga tahu siapa nama gadis itu.
Ketika gadis itu dengan temannya lewat serentak Pri, Kris dan Agus meneriaki, “Anita, hee..! “ gadis itu menoleh, sambil menoleh, sambil tersenyum manis sekali, sungguh aduahi.
Belum selesai mereka bermaksud menggoda-goda, tiba-tiba pak Kurniawan gugu Bahasa Indonesia mereka, menyuruh Pri dan Kris membawakan buku-buku, Keduanya lalu saling pandang. Apa mau menolak perintah gurunya? Sementara Agus yang terbebas dari tugas tersebut kemudian memanfaatkan kesempatanya, ia berjalan mengiringi gadis itu.
Dalam hati Pri memaki. Tetapi , lewat Agus pulalah, Pri kemudian tahu siapa nama gadis itu. Juga Kris , ternyata nama gadis itu cukup singkat: Ranti. Selain singkat juga kedengarannya puitis. Ranti.
“Gila kau, Gus. Benar benar tak kau beri aku kesempatan unuk mengenalnya,” ujar Kris, yang merasa banyak berjasa di antara mereka namun tak seberuntung Agus.
Pri juga bilang, “Coba kalu Pak Kur tidak menyuruh kami, pasti kita bisa saling mengenal.”
Pri lalu meninju Agus sambil tertawa. Agus jadi semakin bernafsu menceritakan siapa Ranti itu.
“Kalau tidak ada yang mencari, aku juga mau jadi pacarnya,” kata Agus lagi, sambil tertawa ngakak. Seakan dirinyalah yang lebih beruntung di antara keduanya.
“Kalau kau mau tahu. Kenapa aku tidak mau ?” ujar Pri
“Dia memang cocok jadi guru, “ sela Kris
“Calon guru tentu paham mendidik anak, bagaimana mengajarkan sesuatu yang baik,”
Pri tersenyum-senyum, ternyata gadis itu tak bisa dipandang enteng. Ternyata gadis itu mempunyai keistimewaan sendiri. Pri kemudian dikenalkan dengan yang lain oleh Agus.
Tiba-tiba  ketika sore sudah bergeser di ruang pameran itu dan lampu ruangan menyala putih, Ranti muncul dengan seorang temanya. Inilah gadis itu, pikir Pri, inilah penyair itu, yang menggoreskan kata dalam majalah dinding yang kini ikut dipamerkan. Beberapa lama pesona itu, daya tarik itu, magnet itu, mampu menggoda pikirannya. Dan ketika tangan mereka saling bergenggaman: wujud formal dari sebuah perkenalan, wajah yang dari jauh tampak mempesona itu pun masih tetap terjaga dengan kuatnya.
“Sajakmu bagus Ranti,” kata Pri
“Wah, terima kasih,”
“Aku tak pernah menyangka ada seorang penyair yang begitu cantik, “kata Pri lagi setengah menyanjung gadis itu. Ranti tersipu, tetap dengan senyuman itu seakan ada bau wangi yang tiba-tiba tercipta di ruangan itu. Pri sedang menghadapi seseorang yang paling dikaguminya selama ini. Kris dan Agus, yang tadi bersama-sama, kini sudah berada di bagian lain, entah bicara dengan siapa Pri tidak tahu.
Lalu Pri mengajak Ranti melihat-lihat majalah dinding lain yang ikut dipamerkan. Sekan terjadi begitu tiba-tiba, bagai sudah ada perintah dari hati mereka masing –masing. Seakan mereka telah Teguh Karya , orang yang paling disenangi Pri. Pri pun mendadak jadi agresif. Selebihnya adalah kesempatan ini begitu manisnya. Tak pernah tercipta sebelumnya.
Hingga pameran itu usai, seakan ada yang masih terus berjalan, melintasi waktu, menit kehidupan . entah apa namanya.

No comments:

Post a Comment