CERPEN ZIARAH



Turun dari sebuah bis  di terminal terakhir, lelaki itu  menjejakkan kakinya dengan tubuh gemetar. Seluruh tubuhnya terasa lemas, ringan  dan serasa terbang. Tanpa menghiraukan keramaian, ia bersujud, mencium aspal terminal 3 kali. Dibantu oleh istrinya, ia perlahan bangkit. Wajahnya telah dibasahi air mata yang mengalir tak tertahankan. Lelaki itu berjalan dengan langkah teratur. Pelan sekali, tiap langkah penuh makna, matanya liar berkeliling mencermati sekitarnya.
Di pintu keluar, lelaki itu berhenti sejenak,
menengadahkan kepalan dan menghirup dalam udara yang berkeliaran. Lelaki itu lalu berteriak  lantang. Suaranya menggema di antara suara-suara mesin kendaraan dan teriakan-teriakan kondektur, tukang becak, sopir taksi, tukang ojek yang mencari penumpang. Orang orang berhenti, mengamati lelaki itu lalu bergerak kembali, tak peduli lelaki itu terisak.
Mereka mencari penginapan di sekitar terminal. Sebuah penginapan sederhana, namun keliahtan teduh.
Pada saat istirahat di penginapan itu, tak sekejap pun lelaki itu dapat tidur meski ia berusaha memejamkan mata. Pikirannya terus mengembara . berjuta bayang-bayang menari-nari di kepalanya.
“Aku kembali!” Aku kembali!” teriak hatinya. Tiba tiba bau mayat menyeruak masuk kedalam hidungnya.
“Tidak! Tidak! Tidaaaakk!” lelaki itu menjerit Istrinya terbangun.
“Ada apa  Mas?” Katanya sambil bangkit. Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepalanya. “ Tidak apa apa, tidak apa apa.” Katanya dengan nafas terburu. Wajahnya keliahatn pucat. Keringat membasahi keningnya. Istrinya mengeluarkan sapu tangan dan menghapus keringatnya. Ia berdiri, mengambil botol berisi air mineral dan menuangkannya dalam gelas, lalu membimbing suaminya untuk minum.
Lelaki itu sudah di pinggir ranjang. Tatapan matanya terasa kosong.
“Mereka memanggilku. Mereka memanggilku sambil melambai-lambaikan tangannya. Mereka menjerit, badai datang, masih kulihat mereka melambai-lambaikan tangannya kepadaku. Sampai badai menerkamnya dan menghilangkan wajah-wajah mereka, “kata lelaki itu dengan suara berat.
“aku teramat berdosa. Aku tak pernah menghiraukan mereka! Tekutuklah aku…!” lelaki itu memukul-mukul kepalanya sendiri. Istrinya cepat menyambar  tangan lelaki itu.
“sudahlah, Mas. Mas tidak bersalah, besok pagi kita kesana, ya?”
“empat puluh tahun sudah ia tinggalkan tanah kelahirannya. Dan kini ia kembali. Menyambut luka yang tersisa. Ia berharap tiada lagi ada siksa. Ia berharap hatinya mampu untuk menerima. Inilah kehidupan, inilah garis hidupnya.
Masih tergambar jelas, waktu itu, usianya hampir menginjak tiga belas tahun. Ia telah menggembala  lima ekor kambing keluarganya di tanah lapang di seberang bukit, langit mendung. Ia bergegas pulang. Kibasan angin menghantarkanawan dengan cepat. Kilatan-kilatan cahaya di langit. Hujan turun deras sekali. Ia cepat menarik  kambing-kambingnya mencari tempat berteduh. Ditemukan sebuah pohon besar dengan lubang di bawahna . ia berhimpit-himpitan dengan lima ekor kambinnya . suara angin kencang, petir menyambar-nyambar. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Ia sangat ketakutan, memeluki kambingnya. Suara gemuruh berhenti.
Hujan mulai reda. Ia memberanikan diri untuk keluar. Ia menarik kambing-kambingnya dan tidak menghiraukan air hujan yang membasahi seluruh tubuhnya.
Mendekati kampungnya , terdengar suara jeritan, tangisan dan teriakan. Ada rasa gelisah di hatinya. Ia mempercepat langkah untuk mengetahui apa yang terjadi. Matanya terbelalak tatkala ia melihat kampungnya tak tampak lagi. Sisa-sisa  bukit yang mengelilingi kampungnya telah runtuh dan mengubur seluruh kampung. Ia tak menghiraukan kambing-kambingnya lagi. Ia menjerit sambil berlari-lari kearah kampungnya. Tiba-tiba terasa ada tangan menxekal kuat dan menariknya. Ia terjatuh.
“Jangan mendekat, masih terlalu bahaya!”
. ia Benar, runtuhan kecil masih saja terjadi. Ia pun menangis memanggil-manggil nama keluarganya.
Orang-orang dari kampong tetangganya berdatangan. Belum  ada satu orang pun yang berani mendeka. Setelah dirasa sudah aman, barulah orang-orang mendekat dan segera berusaha memberikan pertolongan. Lelaki kecil itu ikut bersama orang-orang mendekat dan berusaha memberikan pertolongan. Lelaki itu bersama orang-orang menyingkirkan kayu-kayu dan pohon-pohon tumbang dan menggali tanah. Tangisnya tak terhenti.
Satu per satu  ditemukan orang-orang yang sudah tak bernyawa. Lelaki kecil itu meraung raung setelah keluarganya satu per satu ditemukan dari timbunan tanah. Wajah bapak, ibu, kakak-kakaknya, dan adiknya, dan seluruh keluarganya telah meninggalkanya. Sekarang ia hidup sebatangkara.
Sejak peristiwa itu, ia ditampung  dan hidup di rumah Pak Lurah. Setiap saat ia selalu terkenang. Ia terus menangis sepanjang waktu.
Suatu hari diambilnya keputusan.ia harus pergi. Pergi jauh meninggalkan desa ini, dan tak pernah kembali, ia harus segera menghapus luka itu. Ia harus hidup.
Empat puluh tahunan sudah. Ia mengarungi hidupnya, setapak demi setapak kenangan it uterus membunuhnya. Semangat untuk melupakan kenangan pahit menumbuhkan rangsangan untuk gia  menyibukkan diri dalam bekerja. Namun,  kenangan itu tak  terhapuskan begitu saja. Justru setiap helaan nafasnya terus  diburu bayang-bayang. Saat terakhir, ia memutuskan untuk berziarah.
Malam itu dilaluai tidak dengan ketenangan, beberapa lelaki itu berteriak-teriak dalam tidurnya . sang istripun berjaga-jaga sampai pagi. Terus berusaha untuk menenteramkan.
Keseokan paginya, mereka menyewa sebuah taksi gelap melalui penjaga penginapan. Lelakinya menyebutkan nama tempat yang akan ditujunya. Kening sopir taksi berkerut.
“Apa bapak tidak salah menyebutnya?”
“Saya hafal seluruh pelosok kabupaten ini. Tapi nama bapak sebutkan baru kali ini saya dengar.” Lelaki itu menyebutkan nama tempatnya secara lengkap.
“ Oh. Kecamatan itu saya tahu.”
Dalam perjalanan, lelaki itu minta berhenti di sebuah pasar. Ia menyuruh istrinya untuk membeli bunga.
“Kami mau berziarah,” kata lelaki itu kepada sopir taksi yang mengantarnya.
Sopir taksi itu merasa asing dengan daerah daerah yang dilaluinya.
“Stop-stop, kita berhenti di sini saja Pak!” kata lelaki pada pak sopir. Suami istri itu berjalan menuju makam keluarganya.

No comments:

Post a Comment