DEWI SARTIKA



Dewi Sartika dilahirkan pada tanggal 4 Desember 1884. Ia putrid pertama dan anak kedua dari R.Rangga Somanegara, Patih Bandung. Ibunya R.A. Rajapermas, putrid Bupati Bandung R.A.A. Wiranatakusuma IV, yang terkenal dengan sebutan dalem Bintang. Ia dibesarkan bersama-sama saudaranya, R.Somanur, R. Junus, R. Etnis, R. Sari Pamerat, dalam lingkungan kehidupan keluarga yang harmonis.

Pikiran yang maju dari orang tuanya memberikan bekal yang sangat berharga bagi Dewi Sartika. Sebagai anak yang dari golongan priyayi, ia termasuk beruntung perkenankan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk masuk sekolah. Ia masuk sekolah kelas satu. Di sinilah Dewi Sartika memperoleh pendidikan dasarnya. Ia belajar membaca dan menulis, bahasa belanda dan pengetahuan lainnya. Walaupun
pendidikan ini berlangsung tidak lama, namun berhasil menanamkan semangat belajar yang kuat pada diri Dewi Sartika
Kedamaian kehidupan keluarganya tiba-tiba berakhir, ketika ayahandanya dituduh terlibat dalam pemasangan dinamit pada pertengahan bulan Juli 1893. Hukuman buangan ke Ternate mengakibatkan pecahnya keutuhan keluarga. Seluruh harta benda keluarga disita dan ia beserta keluarganya harus keluar dari kepatihan. Ia dititipkan pada kerabatnya di Cicalengka.
Dari kehidupan di Cicalengka, Dewi Sartika mengamati bahwa ada sesuatu yang dibutuhkan untuk melengkapi pendidikan teman-teman sebayanya, wanita-wanita muda yang sibuk melatih diri mempersiapkan masa depannya. Mereka perlu kecakapan membaca dan menulis, disamping pengetahuan, kewanitaan, kesehatan  dan hal-hal yang umum lainnya. Disinilah ia merasa terpanggil untuk berbuat sesuatu bagi kemajuan kaumnya. Mengajarkan membaca dan menulis. Demikian pula pengetahuan tentang kewanitaan,
Untuk mewujudkan cita-citanya Dewi Sartika mendirikan sekolah Isri ( sekolah gadis ) pada tanggal 16 Januari  1904. Sekolah ini bertempat di Paseban Kabupatan Bandung sebelah barat. Mula-mula hanya terdiri dari dua kelas dengan dua puluh orang murid, dengan tiga pengajar, yaitu: Dewi Sartika, Ibu Purma dan Ibu Pur.
Usaha yang gigih Dewi Sartika dalam bidang pendidikan akhirnya membuahkan hasil yang gemilang. Kemajuan kaum wanita seperti yang diidam-idamkan mulai tampak. Pada tahun 1929, bersamaan dengan genap 25 tahun berdirinya Sekolah Kautaman Istri  yang mula-mula bernama Sekolah Isrti, Pemerintah memberikan hadiah berupa gedung baru, sebuah bangunan permanen terbuat dari batu. Pada kesempatan ini Dewi Sartika mendapat ucapan selamat dari para pembesar, karena jasanya selama 25 tahun mengajar tanpa cacat dan cela. Setelah itu Sekolah Kautaman Istri terkenal dengan sebutan “Sekolah Raden Dewi”.
Sepeninggal suami tercintanya pada tanggal 25 juli 1939, kesehatan badannya mulai mundur. Ia sering sakit. Untuk melanjutkan perjuangannya ia dibantu putrinya yang paling muda Dewi Ine Tardine.
Sesudah Proklamsi Kemerdekaan 14 Agustus 1945, Sekolah Rakyat Gadis masih dibuka, akan tetapi menjelang pecahnya perang kemerdekaan sekolah tersebut ditutup. Banjir besar sungai Cikapodang, pertempuran-pertempuran yang terjadi antara pemuda-pemuda Indonesia denga tentara Belanda yang berlindung di belakang Sekutu, mencapai puncaknya dengan peristiwa Bandung lautan Api pada tanggal 24 Maret 1946 menyebabkan pengungsian besar-besaran penduduk Kota Bandung ke luar kota.
Dewi Sartika beserta anak cucu mengungsi ke daera Ciparay , Bandung Selatan, kemudian pindah ke Garut. Di sini ia menetap beberapa saat. Tetapi menjelang agresi militer yang pertama ia pindah ke Cianem, yang terletak antara kota Tasik dan Ciamis.
Pada waktu tanah air sedang berada di tengah-tengah kancah peperangan, Dewi Sartika meninggalkan dunia yang fana ini pada Kamis, tanggal 11 September 1947 pada usia 63 tahun.

No comments:

Post a Comment